top of page

Bukit Watu Jengger Mewujudkan Imajinasi Dunia Layar Lebar

Sabtu 15 Agustus 2020 tiba-tiba pesan WA masuk dari Triasni, teman pendakianku. Isinya adalah ajakan dadakan untuk berangkat mendaki malam ini juga. "Mendaki kemana?" tanyaku. Dikasihlah aku sebuah link artikel berjudul "Puncak Watu Jengger Alternatif Hiking untuk Pemula." Aku baca sebentar, lalu tidak pakai lama langsung aku iyakan saja ajakan tadi. Rasa ingin membiasakan kaki bercapai-capai ria lagi menjadi pendorong terkuatku alias sudah kangen berat mendaki. Kami janjian bertemu jam 10 malam, lalu menjemput 2 kawan Batak Triasni, yang bernama Luhut dan Pretty untuk ikut mendaki. Rencana hanya mengejar sunrise. Jadi, naik tek-tok saja tanpa menginap di atas.


Jam 10 lewat 10 menit aku sudah sampai di kos Triasni. Kami berangkat bersama menggunakan mobilnya. Selesai menjemput 2 kawannya, waktu sudah menunjukan sekitar jam 11 malam. Kami langsung lanjut berkendara menuju lokasi yang berada di Desa Nawangan, Kabupaten Mojokerto menggunakan jalan tol. Jalan menuju lokasi ini dekat dengan Trowulan yang berarti kunjungan ini adalah kunjungan kali ketigaku ke daerah sekitar Trowulan dalam satu minggu yang sama.


Dari Jalan Raya Gemekan, kamu akan temukan perempatan. Ambil belokan ke kiri menuju arah Trawas/Pacet. Ciri-ciri saatnya berbelok adalah kamu temukan pos pantau polisi yang terbuat dari kontainer. Setelah berbelok, jalan akan berubah menjadi jalan beton yang lebar. Sangking lebarnya, jalan ini dijadikan arena balapan liar oleh pemuda-pemuda motor sekitar.


Naas, mobil kami terjebak dalam balapan tersebut. Mobil harus berhenti sekitar 5 menit menunggu 4 batch adu motor dengan jalur lurus dilepaskan. Untungnya, tidak ada keanarkisan. Perasaan kami sudah bercampur aduk antara takut dan penasaran karena ini benar-benar pengalaman pertama bagi kami berempat. Setelah itu perjalanan berlanjut mengikuti jalan yang lurus. Untuk tikungan menuju desa, aku sarankan ikuti arahan Google Maps saja. Bagiku tidak ada penanda khusus yang bisa memudahkan kalian menemukan jalan masuk ini. Yang pasti kalian akan melewati gapura lengkap dengan lengkungan di atasnya bertuliskan masuk Dusun Lebak.


Awalnya mobil kami menggunakan lampu jauh karena tidak ada penerangan jalan sama sekali. Tetapi, tiba-tiba kami melewati pepohonan yang suasananya mirip di film The Forest. Aku dan Triasni yang berada di kursi depan sontak kaget. Lampu jauh langsung dimatikan, kembali ke lampu dekat. Kejutan perjalanan yang luar biasa!



Terus ikuti jalan hingga kamu temukan jalan bercabang yang kedua kalinya. Cabang kiri mengarah ke bawah, sedangkan cabang kanan mengarah ke atas. Ambil jalan yang mengarah ke atas menuju Desa Nawangan. Tenang! Ada bantuan tandanya kok sob. Nah! dari sini tantangan dimulai. Benar sudah apa yang tertulis di internet, bahwasanya lebih baik menggunakan sepeda motor saja. Kenapa begitu?!


Pertama, jalannya sempit hanya cukup untuk satu mobil saja. Jadi, kalau berpapasan dengan mobil lainnya, bagi kami tidak bisa. Kiri kanan sudah semak belukar yang tidak terlihat tanahnya. Untung saja kami jalan malam sehingga tidak berpapasan dengan mobil yang turun dari atas.


Kedua, medannya kacau balau. Medannya terbuat dari bebatuan yang tatanannya tidak teratur. Bagi aku pribadi, seperti awalnya yang jalan mulus kemudian jalan itu pecah. Tidak hanya itu, konturnya juga tidak rata. Banyak yang berlubang. Medan ini benar-benar cobaan untuk ban kendaraan dan uji kemampuan bagi yang menyetir. Bahkan, mereka yang naik motorpun akan kesusahan melewati medan ini. Harus pintar-pintar mengendalikan. Bisa terguling kalau tidak.


Akhirnya sampai juga kami di Desa Nawangan pada jam 1 dini hari. Salut kepada Triasni yang berhasil membawa 4 nyawa termasuk dirinya, sampai di tujuan yang menjadi awal pendakian. Untuk parkir mobil akan dibantu oleh warga disana. Mobil kami parkir dihalaman rumah warga dengan tarif parkir 30.000 rupiah. Sedangkan parkir motor ada lapangannya sendiri. Kami putuskan untuk tidur dulu hingga jam setengah 3. Setelah itu persiapan sebentar. Tepat jam 3, pendakian kami mulai.


Arah pendakiannya adalah dari parkiran motor naik ke arah kiri. Masih menembus melewati rumah warga sampai akhirnya terlihat pintu masuk kawasan Tahura (Taman Hutan Raya) Bukit Watu Jengger. Pos ini buka 24 jam. Tetapi, waktu kami datang tidak ada yang petugas yang sedang jaga. Akhirnya kami lanjut jalan saja.


Medan awal berupa bebatuan, sama seperti medan ketika berkendara naik ke desa. Medan begini yang paling tidak enak. Kalau sebentar tak apa. Tetapi, kalau terus-menerus nyeri juga kaki ini meskipun sol sepatu sudah tebal. Terus berjalan, medan mulai bervariasi. Bebatuan disatu sisi, tanah empuk disisi lainnya. Lumayan bisa membantu sedikit kaki merasa lega. Jalur ini masih relatif landai hingga masuk lebih dalam melewati vegetasi dengan pohon yang tinggi. Dari sini, jalur mulai naik tajam.


Lagi-lagi perasaan seram layaknya yang dirasakan ketika melihat film The Forest terasa. Kami melewati pepohonan yang sama. Batang pohon yang kurus dengan jarak yang seakan tersusun teratur menghasilkan aura mistis tertentu. Aku sempatkan berhenti sebentar mengabadikan situasi ini. Tidak lama, kami lanjut berjalan.


Suasana Berjalan Malam di Bukit Watu Jengger
Suasa Berjalan Malam Menembus Vegetasi Pepohonan

Jalan terus naik. Kadang naik tajam, kadang naik sedikit. Yang pasti tidak ada bonus! 45 menit berjalan, sampailah kami di pos 1. Langsung aku minta istirahat sebentar. Tenagaku sudah habis. Aku butuh mengkonsumsi bekalku yang manis, yaitu madu. Jaket aku lepas di sini karena udara yang berhembus tidak dingin. Selama perjalanan menuju pos 1 ini, aku justru kepanasan sendiri. Lima menit beristirahat, tenagaku sudah kembali, perjalanan bisa berlanjut.


Tidak jauh, kurang lebih 10 menit, kami sudah sampai di pos 2. Pada pos ini mulai banyak orang mendirikan tenda. Semua orang sudah tidur. Tidak ada aktivitas sama sekali. Kami melewati pos ini tanpa istirahat. Mulai dari sini, medan sudah naik tajam terus. Inilah keuntungan jalan malam, tidak bisa melihat ujung tanjakan. Jadi, mental tidak dihajar kalah duluan oleh harapan. Kaki hanya bisa pasrah dengan terus melangkah.


Kurang lebih 20 menit berjalan, sampailah kami di pos 3. Kondisi di sini lebih ramai tenda para pendaki. Ada penghuni satu tenda yang kami lewati masih terbangun. Duduk di teras tenda menghadap kompor. Kami ucapkan permisi yang sudah menjadi norma tak tertulis para pendaki. Sapaan kami dibalas dengan tawaran segelas kopi. Lantas, kami tidak bisa menerima tawaran baik tersebut karena kami masih harus terus berjalan. Kami akhirnya terhenti ketika berada di ujung pos 3 yang sudah tidak ada tenda lagi.


Kami tidak tahu total ada berapa pos di sini. Bingung antara berhenti disini menunggu matahari terbit atau lanjut berjalan lagi. Kami coba berjalan mundur dan bertanya kepada 1 tenda lainnya lagi yang penghuninya masih bangun. Dia katakan "Masih jauh puncaknya. Mau muncak sekarang?" tanyanya kembali. "Iya mas" jawab kami. Kami lanjut berjalan dengan medan yang sama, naik tajam. Tanah mulai berubah menjadi licin, seperti tanah basah tapi tidak tidak gembur. Sambil jalan kami berpikir bersama "Kenapa ditanya mau muncak sekarang?" Padahal seharusnya memang sudah waktunya berangkat mengejar sunrise.


Keindahan Pemandangan Bukit Watu Jengger. Bisa dilihat jajaran bukit indah ada disebelah kanan.
Keindahan Pemandangan Bukit Watu Jengger

Enak-enaknya berjalan ditengah gelapnya malam, tiba-tiba kami terkaget karena dikiri kami ada satu kelompok pendaki tidur tanpa tenda. Mereka semua hanya memakai sleeping bag. Nekat juga pikirku. Tetapi, tak apa juga sih, udara tidak terlalu dingin. Mungkin itu alasan mereka. Setelah itu kami bertemu dengan satu tenda besar berisikan banyak orang yang sudah bangun. Kami bertanya kembali seberapa jauh puncak. Dijawab oleh salah satu dari mereka yang berada di luar tenda "Sudah dekat seharusnya." Baiklah, kami melanjutkan melangkah. Tiba-tiba kami melewati rerumputan yang cukup tinggi dan basah. Tidak lama vegetasi itu sudah berakhir dan membuat baju dan celana kami lumayan basah semua terkena air embun. Selama perjalanan menuju puncak ini, suara deburan air yang tedengar jelas ditelinga kami menjadi teman perjalanan. Suaranya seperti suara air terjun.


Langit sudah sedikit mulai terang. Akhirnya kami sudah sampai di tanah lapang tepat sebelum puncak. Total perjalanan kami mulai dari bawah hingga tanah lapang ini adalah 1,5 jam. Perasaan kami sudah tidak enak. Langit yang terang berada di sebelah kiri, dan kiri kami tertutup oleh bukit. Apapun yang terjadi tetap disyukuri saja.


Aku mengeluarkan footprint dan outerlayer tenda yang kubawa. Tenda kami dirikan hanya untuk menghalau angin yang berhembus kencang karena sudah tidak terhalang vegetasi. Posisi kami sekarang sudah diam. Udara yang awalnya panas, makin lama makin terasa dingin.


Tanah lapang sebelum puncak tempat kami menunggu terang.
Tanah Lapang Sebelum Puncak

Makin pagi, terbaca sudah. Ternyata, memang tidak bisa melihat sunrise. Pantas tadi di pos 3, orang yang kami tanyai, bertanya balik kepada kami tentang niatan kami naik ke puncak. Ternyata tak ada gunanya ke puncak pagi buta. Tidak ada matahari pagi yang bisa dinikmati. Tetapi, positifnya adalah kami dapat waktu banyak untuk berfoto ria tanpa ada gangguan pendaki yang lain.


Terang sudah, situasi disekitar kami. Puncak terlihat jelas. Sebelah kanan tampak jajaran bukit yang luar biasa waw! Bagiku pribadi ini seperti di film Jurrasic Park. Kamu ingat, adegan terbang menggunakan helikopter melewati perbukitan. Nah, ini sama persis bukitnya. Aku juga jadi teringat dengan Gunung Rinjani yang memiliki jajaran bukit yang sama. Untuk lebih jelasnya, bisa langsung lihat virtual tour sederhana yang berada di akhir cerita. Suara air juga terus terdengar. Ternyata itu adalah suara sungai mengalir yang bisa sedikit kami lihat dari atas.


Tiba-tiba, pendaki lainnya mulai melewati kami menuju puncak. Lumayan banyak jumlahnya mengingat ini adalah tanggal 16 Agustus. Satu hari menuju kemerdekaan Indonesia. Semua pasti mengejar foto pengibaran Sang Saka Merah Putih di ketinggian. Aku pribadi juga membawa bendera, tapi bukan menjadi tujuan utamaku untuk pengibaran di puncak.


Kami putuskan menunggu dulu saja. Menunggu kepadatan di puncak berkurang. Sambil menunggu, kami memperhatikan orang yang lewat lalu lalang di depan mata kami. Satu penemuan kami yang masuk kategori ekstrem adalah ada satu insan wanita memakai sandal jepit wanita yang sangat tipis yang biasa dipakai jalan-jalan ke mall. Hebat atau kasihan? aku bingung. Hebat karena kakinya kuat bertahan (mungkin kalau kakinya bisa bicara, sudah minta tolong). Kasihan karena dia tidak dididik oleh teman sependakiannya mengenai tata cara yang benar. Ya memang pendakian ini bisa dikategorikan ringan. Hanya bukit, bukan gunung. Tetapi, alangkah bagusnya kalau mengerti dan mematuhi cara yang semestinya untuk menghindari cedera/hal lain yang tidak diinginkan.


Kelompok pendakianku ke Bukit Watu Jengger
Kelompok Pendakian Bukit Watu Jengger

Sudah banyak yang turun dari puncak. Pertanda giliran kami yang naik. Tenda kami lipat dan kemas kembali kemudian berjalan ke puncak. Pemandangan di puncak hampir sama dengan tempat kami mendirikan tenda. Hanya papan bertuliskan 1100 mdpl yang menjadi pembeda. Dibalik papan ini, masih ada jalan untuk sedikit turun hingga ujung jalan bisa ditemukan. Semua pendaki antri bergantian untuk berfoto di papan. Kalau dipikir-pikir papan ini sudah menyamai popularitas selebritas juga ya. Bedanya papan ini tidak memiliki media sosial. Hahaha...


Puas dengan aktivitas di puncak, saatnya kami turun. Ternyata turun tidak kalah susahnya dengan naik. Tanah licin membuat kaki harus pelan-pelan melangkah. Fokus dan berhati-hati kuncinya. Seperti biasa kalau sudah turun, kami pasti takjub dengan medan yang kemarin malam kami lewati. Takjub dengan kemampuan kami yang bisa melewati itu semua dengan kondisi kami yang belum terbiasa naik gunung lagi.


Pemandangan Bukit Watu Jengger yang mirip dengan film Jurrasic Park
Bukit Jurrasic Park

Begitu kami mendekati bawah, kami lihat ada orang yang melakukan olah raga hash. Aku jadi teringat akan kenangan lama. Tempat ini sebenarnya bisa dikatakan sama dengan Gunung Gede. Satu jalur yang sama bisa dipakai untuk hash atau pendakian biasa. Sesampainya di gerbang masuk kembali, kami wajib lapor. Kami katakan kalau sewaktu masuk kami tidak mendaftar karena tidak ada penjaganya. Ternyata, penjaganya kemarin malam sudah tertidur. Jadi, administrasi kami selesaikan sekarang dengan membayar 10.000 rupiah/orang sebagai tiket masuk dan mengisi data perwakilan kelompok.


Kami langsung beranjak pulang. Lagi-lagi sewaktu pulang, medan penuh cobaan harus kami lewati kembali. Ditambah kali ini harus pintar memainkan rem karena jalan turun. Sekali lagi, kami sukses melewatinya dengan selamat. Terima kasih lagi kepada ibu Triasni! Sebelum pulang, kami belok ke arah Trowulan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Aku arahkan makan ke warung depan Kolam Segaran yang menjual wader penyet. Mumpung lewat Trowulan, kalau tidak mencoba salah satu masakan khasnya yaitu wader penyet, rugi dong! Selesai makan kami pulang dengan perasaan senang dan perut kenyang.


Puncak Bukit Watu Jengger dengan ketinggian 1100 MDPL
Puncak Bukit Watu Jengger

Bukit Watu Jengger memang betul cocok untuk pendakian pemula. Cocok untuk membiasakan kaki yang sudah lama beristirahat agar kembali merasakan nikmatnya tanjakan sebelum menjajaki gunung sebenarnya. Jangan ragu untuk ke sini. Saranku bebas mau naik kendaraan roda 2 atau roda 4. Yang penting siapkan mental dan skill karena kendaraan dan kemampuanmu akan diuji.


Sekian cerita perjalanku memulai melangkah mendaki kembali. Semoga cerita ini bisa bermanfaat bagi kalian semua. Jangan lupa tetap terapkan protokol kesehatan dan bawa turun sampahmu!


Salam Alam itu Guru Terbaik



26 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page