top of page

Sensasi Tek-Tok di Gunung Gede-Bagian 2

Perjalanan menuju puncak Gunung Gede didepan mata. Kami lanjutkan dengan penuh semangat. Kali ini perjalanan terasa berbeda. Vegetasi semakin rapat dengan bentuk pohon yang menurut kami berbeda. Terang sinar matahari semakin susah masuk ditambah kabut yang cukup tebal mulai turun. Pendapat Triasni suasana menujuk puncak ini seperti suasana hutan di film ‘The Forest’ yang menceritakan keseraman hutan di kaki Gunung Fuji, dimana hutan itu merupakan tempat orang melakukan bunuh diri. Tenaga kami terkuras banyak untuk menggapai puncak. Cukup lama usaha mendaki kami kali ini. Sempat aku yang terlalu capai. Napas terasa sangat habis. Terima kasih kepada Triasni kuucapkan karena sudah menguatkanku. Dia selalu menjadi jiwa penyemangat dalam tim kami, meskipun dia sendiri kecapaian. Kerja sama tim seperti ini sangat dibutuhkan. Sesuatu yang susah digapai menjadi lebih mudah diwujudkan. Setelah mengalami istirahat yang dikatakan banyak juga, akhirnya kami mencapai vegetasi yang lebih terbuka. Puncak Gunung Gede sudah nampak di depan mata.


Sesampainya di puncak langsung kami mengambil istirahat sejenak. Kami cukup menekan percepatan langkah kami untuk menghemat waktu. Puncak gede memiliki lahan yang cukup sempit. Sayangnya pada saat itu pengalaman puncak kami menjadi tidak sempurna karena kabut tebal yang tidak lekas pergi dan hujan mulai turun sedikit. Pandangan sekitar tidak bisa terlihat jelas. Tidak lupa kami sempatkan mengabadikan berfoto di tugu penanda puncak Gunung Gede 2958 mdpl. Kami sudah bahagia kala itu karena sudah bisa mencapai puncak, dan tinggal turun saja yang cenderung lebih ringan dibanding naik. Waktu sudah menjelang sore. Sudah saatnya istirahat kami sudahi dan segera turun. Turun hingga ke Kandang Badak kembali, perjalanan seperti biasa dan cepat. Kami lanjutkan langsung tanpa berhenti mengingat tenaga masih ada. Tidak lupa aku katakan bahwa medan yang dilalui selama turun adalah menuruni anak tangga yang sangat banyak.


Dari awalnya berjalan turun dengan tempo yang cepat, perlahan mulai berubah menjadi tempo lambat. Dari awalnya kami yang masih mengobrol satu sama lain, lama kelamaan menjadi terdiam satu sama lain. Diam karena sibuk mengatur napas. Lutut kami mulai berontak kelelahan. Aktivitas turun yang kami anggap ringan ternyata tidak sesuai kenyataan. Makin lama terasa makin berat. Terpaksa kaki ini harus diistirahatkan sebentar.


Ketika jam menunjukan 6 sore, kami sempatkan berhenti kembali di tengah jalan. Sudah menjadi aturan yang kami sepakati bersama di setiap naik gunung untuk berhenti sejenak setiap jam 6 sore waktu sempat. Setelah 15 menit berhenti beristirahat, perjalanan kami lanjutkan.


Tantangan datang kembali dengan wujud yang berbeda. Sekarang tidak hanya menuruni anak tangga tetapi juga melalui medan yang tersusun atas batu yang tidak landai/rata. Kaki sering selip. Kadang merasakan menginjak batu yang tajam. Semua itu menambah beban lelah kaki. Kaki kami menjadi punya otak sendiri. Bisa berjalan sendiri ke kiri dan kanan tanpa ada kontrol secara sadar. Kondisi gelap dan capai akan lebih memudahkan kita kehilangan konsentrasi. Sesekali aku sempatkan memanggil nama temanku satu persatu untuk menjaga konsentrasi mereka. Dibalik rasa lelah itu ada kejadian lucu terekam. Karena kaki bisa berjalan sendiri tadi, dua orang temanku yang berjalan di sebelah kiri dan kanan yang cukup jauh, tiba-tiba bisa bertabrakan di tengah. Aku yang melihat dari belakang lantas tertawa. Ketika kami sudah kembali di jalan yang landai, tawa canda dan obrolan kami kembali lumayan banyak meskipun kaki sudah kaku rasanya.

Sekitar jam 8 malam akhirnya kami sampai di pos pelaporan kembali. Tetapi bukan berarti perjalanan berakhir, selesainya dari situ perjalanan masih dilanjutkan sedikit lagi ke parkiran mobil di bawah. Aslinya dekat. Namun, karena kaki sudah capek sekali, yang dekat terasa menjadi sangat jauh. Kami sudah tidak memperdulikan mengambil foto kenangan ketika sudah turun. Masing-masing individu sangat capai. Barang-barang segera kami letakan di mobil. Warung yang buka langsung kami hampiri. Pesan mie instan dan teh panas. Kombinasi menu makan minum terbaik untuk pemulihan energi. Selesai makan, kami ikut tidur sebentar di warung tersebut sebelum akhirnya melanjutkan perjalan kembali ke kota.


Konsep tek-tok ini memang menyimpan keseruan dan sensasi tersendiri. Kita bisa belajar mengatur muatan secara ringan. Kita bisa punya waktu mengambil dokumentasi lebih banyak karena rasa capai tidak besar. Tidak lupa pesanku adalah siapkan fisik yang optimal karena konsekuensi konsep ini adalah minim waktu istirahat.



Itu yang bisa aku simpulkan dari pengalamanku melakukan pendakian tek-tok di Gunung Gede. Pengalaman lelah yang aku alami tidak akan menjadi penghilang rasa ingin mencoba kembali konsep ini. Tunggu waktunya saja untuk melakukan kembali di gunung yang berbeda.


Salam Gunung itu Guru.

13 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page