top of page

Piknik Ceria Bersentuhan Dengan Alam di Petirtaan Jolotundo

Eksplorasiku menelusuri candi nusantara mulai lepas dari daerah Trowulan. Melalui youtube channel BPCB Jawa Timur, aku mengenal yang namanya Petirtaan Jolotundo. Satu hal yang membuatku tertarik adalah lokasi ini merupakan cerminan dari cerita mitologi Hindu yang terkenal yaitu Samudramanthana.


Petirtaan Jolotundo berada di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Begitu membaca kata Trawas, aku langsung terpikir untuk memilih jalan via Mojosari saja karena jalan naiknya lebih mencicil dibandingkan jalan via Pasuruan. Perjalananku ke sana sudah aku atur menjadi satu rangkaian dengan pendakian Gunung Bekel yang hasilnya malah berujung tersasar.


Aku berangkat mulai jam 9 pagi dengan maksud agar sampai di Petirtaan Jolotundo tidak terlalu sore dan mengingat masih harus mengulik keberadaannya. Perjalanan sangat lancar dan aku nikmati. Sekitar jam 11 siang, sampailah aku di Trawas. Aku sempatkan mampir Indomaret terlebih dahulu untuk mendinginkan mesin motor yang memanas dan kelelahan akibat menempuh jalan naik, sekaligus aku mengecek arah jalan ke Petirtaan Jolotundo dengan Google Maps. Tidak lama berhenti, aku segera lanjutkan bergerak lagi. Sambil mengingat arahan Google Maps, aku juga terus memperhatikan secara manual petunjuk jalan yang ada di depan mata.


Hasilnya aku tersasar ke basecamp pendakian Gunung Penanggungan via Trawas yang berada di dekat Ubaya Training Center (UTC). Akhirnya, aku beralih memakai ilmu konvesional saja yaitu bertanya ke orang sekitar. Ternyata ada jalan belokan yang kulewatkan dan perjalanan masih panjang, kurang lebih 11 km lagi untuk tiba di Petirtaan Jolotundo yang berada di sisi gunung yang berbeda. Aku turun dari basecamp dan kembali ke jalan yang benar.


Melewati 11 km sangat aku nikmati karena udara sekitar benar-benar menyejukan dan kontur jalan yang naik turun membawaku pada suasana adventure touring tipis-tipis. Jalan ini baru pertama kali kutempuh setelah sekian lama hidup dan bermain berkali-kali ke Trawas yang paling jauh hanya berakhir di Pasar Buah Trawas.


Penampakan Kolam Petirtaan Jolotundo
Penampakan Kolam Petirtaan Jolotundo

Sampailah aku di belokan terakhir sebelum jalan naik menuju Petirtaan Jolotundo. Didepanku adalah jalan naik yang lumayan menukik. Syukurlah, motor matic merahku masih kuat menyelesaikan tantangan ini. Awalnya aku berhenti di pos depan untuk mengurus administrasi. Ternyata pos dalam kondisi kosong karena sudah dialihkan ke atas. Aku lanjut membawa motor naik ke atas hingga sampailah di parkiran. Biaya parkir motor yang dibebankan di sini sebesar 5.000 rupiah untuk tiap harinya.


Aku datang sekitar pukul jam 12 siang pada hari biasa. Namun, kondisi lumayan ramai. Tidak kusangka bisa seramai itu kalau aku bandingkan dengan pengalamanku bermain ke Trowulan yang pada hari biasa selalu sepi pengunjung. Lokasi untuk beli tiket masuk ada didekat parkiran mobil. Biaya masuk orang dewasa sebesar 10.000 rupiah dan anak kecil sebesar 7.500 rupiah. Setelah tiket di tangan, aku berjalan menuju gapura depan.


Tidak lupa aku ikuti protokol kesehatan yang sudah diterapkan dengan baik. Awalnya tangan kucuci bersih dengan sabun, lalu masuk ke bilik penyemprotan desinfektan. Setelah itu baru tiket yang tadi sudah dibeli dan data pribadi, aku serahkan kepada petugas yang berjaga. Suara ramai dari pengunjung dan suara derasnya air sudah bisa terdengar dengan jelas.


Benar adanya, lokasi lumayan ramai yang mayoritas didominasi oleh keluarga yang berpiknik. Mereka tersebar di mana-mana. Ada yang duduk di pinggir kolam, ada yang duduk di gasebo di atas, dan ada yang duduk di gasebo tempat pusat informasi. Kolam dari Petirtaan Jolotundo ukurannya termasuk besar. Tidak hanya itu, ikan-ikan penghuni air kolam juga tidak kalah besar. Lebih besar daripada ikan gurami terbesar yang pernah kumakan di kota. Air yang keluar sangat melimpah. Pancuran berjalan dengan baik, begitu juga dengan aliran pembuangannya. Inilah yang bagiku membuat Petirtaan Jolotundo spesial. Aku bisa menikmati layaknya kondisi sewaktu dulu kala.


Pancuran Utama Petirtaan Jolotundo
Pancuran Utama

Petirtaan Jolotundo terdiri dari 1 pancuran utama yang ada di tengah, 2 pancuran untuk mandi (kiri untuk wanita dan kanan untuk laki-laki), dan 2 pancuran kecil untuk sekedar membasuh dan mengambil air. Para ahli menyatakan bahwa petirtaan ini didirikan pada tahun 899 Saka sebagai pernyataan keberadaan Raja Udayana saat mengundurkan diri untuk bersemedi. Berarti, petirtaan ini umurnya lebih tua dibandingkan umur Kerajaan Majapahit. Raja Udayana adalah Raja dari Bali yang punya pengaruh besar pada kemajuan Bali dan ayah dari Raja Airlangga.


Penelitian juga mengatakan bahwa Petirtaan Jolotundo melambangkan/menggambarkan cerita mitologi Hindu yang bernama Sumadramanthana, yaitu pengadukan samudra susu untuk mencari Air Suci Tirta Amerta menggunakan Gunung Meru yang diikat oleh naga besar jelmaan dari Dewa Basuki. Oleh karena itu, Petirtaan Jolotundo adalah petirtaan suci yang menghasilkan air suci.


Gunung Meru dilambangkan oleh batu lingga yang dikelilingi oleh 8 lingga kecil dan semuanya dililit oleh ular naga. Bentuk ini sama seperti bentuk Gunung Penanggungan yang memiliki 8 anak gunung yang konon ceritanya Gunung Penanggungan tercipta dari pecahan Puncak Gunung Meru yang diletakan di Pulau Jawa untuk menstabilkan kondisi pulau. Batu lingga ini yang seharusnya terletak di atas pancuran utama, sudah tidak bisa dilihat di lokasi karena telah dipindahkan ke kantor BPCB Jatim untuk menjaga kelestariannya. Sedangkan samudra susu dan Air suci Tirta Amerta dilambangkan oleh unsur air yang ada di kolam.


Orang yang berkunjung ke sini tidak malu-malu untuk mandi. Baik itu laki-laki maupun wanita yang lebih dominan generasi tua, semuanya mandi. Tentunya, kalau wanita mandi menggungakan kemben/sarung yang menutupi tubuh. Tujuan mereka mandi bermacam-macam, tapi yang paling utama adalah mencari berkah. Aktivitas mandi dilarang menggunakan sabun.


Kegiatan di Tepi Kolam Petirtaan Jolotundo
Kegiatan di Tepi Kolam

Setelah panas berputar-putar di lokasi, aku ingin ikut merasakan air kolam. Alas kaki aku buka mengikuti aturan yang berlaku dengan tujuan untuk menjaga kebersihan kolam. Dingin airnya benar-benar mantab. Kakiku masuk kedalam air dan ikut berenang bersama ikan-ikan besar yang ada di kolam. Orang disekitarku juga melakukan hal yang sama sambil memberi makan ikan yang bisa dibeli dari warung dekat parkiran. Puas bermain air, aku menuju pancuran yang ada di kiri dan kanan kolam. Aku ingin mencicipi rasa airnya. Luar biasa rasanya! Segarnya asli air gunung. Air mineral kemasan kalah segarnya. Aku bergegas mengambil botol air minum yang kubawa, lalu mengganti air yang tersisa dengan dengan air dari pancuran.


Banyak orang datang ke sini membawa wadah berukuran besar dan mereka datang hanya untuk sekedar mengambil air, kemudian langsung dibawa pulang. Kalau di ingat-ingat, sama seperti kebiasaan keluargaku kalau mampir ke Pohsarang di Kediri. Pulang-pulang selalu membawa oleh-oleh wadah air berisi air suci Pohsarang. Sebenarnya airnya sama-sama air dari bumi, tepatnya gunung. Yang membedakan hanya pakaian/ageman sucinya saja. Mau diberi ageman atau agama apa nih, Katolik, Hindu, atau yang lainnya. Jadi, aku menyikapi hal seperti ini biasa saja. Yang penting aku masih berpegang teguh terhadap kebesaran Tuhan. Bagiku agama adalah ageman. Artikel mengenai pendapatku tersebut bisa kalian akses disini.


Aku mencoba mengintip ke dalam kolam mandi, tentunya kolam bagian laki-laki. Aku juga ke kolam wanita sih, tapi sewaktu kosong. Aku ingin tahu perbedaannya. Sempat timbul keinginanku untuk mencoba mandi, tapi tidak bisa. Siapa yang akan menjaga barang-barangku. Yah, seperti inilah salah satu kekurangan dari solo travelling. Lain soal kalau kamu bisa percaya dengan orang sekitar yang baru ketemu. Alhasil aku cuma mendokumentasi orang yang sedang mandi saja.


Selesai dari kolam, aku menuju ke gasebo yang berisi informasi sejarah. Aku baca semuanya termasuk sejarah dari Gunung Penanggungan. Setelah kenyang informasi, aku putuskan mengakhiri perjalanan di sini. Saatnya aku menuju ke pendakian Gunung Bekel.


Tempat ini aku rekomendasikan buat kamu yang ingin piknik bersama keluarga atau bersama teman karena suasana alamnya akan membuat piknikmu menjadi sempurna. Yang pasti jangan datang di hari Sabtu atau Minggu. Hari biasa saja ramai, apalagi hari libur. Nanti yang timbul malahan rasa tidak nyaman karena terlalu penuh pengunjung.


Sekian cerita eksplorasiku di Petirtaan Jolotundo. Semoga cerita ini bisa bermanfaat bagimu dan bisa menstimulusmu untuk terus mengenal kekayaan cagar budaya Indonesia. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.


Dukung terus eksplorasiku dan menceritakannya kembali dalam bentuk virtual tour yang bisa kamu akses dengan klik ini.


Salam Jasmerah!


*Semua informasi sejarah aku kutip dari papan informasi di lokasi dan youtube channel BPCB Jawa Timur



28 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page