top of page

Rinjani Panggung Pertunjukan-Bagian 3

Pagi yang cerah datang menandakan hari baru menyapa. Sekitar jam 9 aku terbangun. Keluar dari tenda, aku lihat Ncus sudah asyik mengobrol dengan Adi, porter kami. Ncus sudah bangun terlebih dahulu pada jam 8. Sambil menunggu nyawa terisi 100% kembali, ritual peregangan dan menghirup udara segar gunung kulakukan. Kuperhatikan sekitar terutama ke arah jalur pendakian ke puncak. Mencari tanda-tanda Triasni dan Ayu kembali. Cemas pasti ada, tetapi keyakinan bahwa mereka berdua baik-baik saja lebih mendominasi. Sambil menunggu kedatangan mereka, aku mengambil kamera untuk mengabadikan pemandangan Pelawangan Sembalun yang sangat cerah tanpa terganggung kabut. Tidak lupa kuabadikan Ncus dengan pose favoritnya. Bosan dengan berfoto, mereka berdua masih belum datang juga. Kuputuskan untuk memasak saja dengan tujuan ketika mereka datang, sudah bisa langsung makan mengisi kembali tenaga. Memasak sudah selesai. Aku dan Ncus juga sudah selesai makan. Mereka berdua masih belum datang juga. Rasa cemas mulai timbul. Saat itu sekitar jam 11 siang. Daripada melamun tanpa melakukan apa-apa, aku dan Ncus lanjut membereskan barang kita. Memasukan kembali ke dalam tas agar ruang di tenda lebih lega.


Akhirnya jam setengah 12 siang, Triasni dan Ayu terlihat dari kejauhan. Jaket kuning milik Ayu sudah nampak. Sesampainya di tenda mereka berdua masih bisa banyak bicara dan tersenyum menandakan bahwa perjalanan mereka baik-baik saja. Syukurlah batinku. Perasaanku dan Ncus kembali tenang seperti sedia kala. "Sampai puncak?" tanyaku kepada mereka berdua. "Enda den, kita cuma sampai tengah-tengah. Ada spot bagus buat foto dan juga sudah kelihatan Segara Anak" jawab Triasni sambil melepaskan alas sepatu memberi napas pada kaki. Melihat kondisi mereka yang kelelahan, lantas aku sigap menawarkan makanan, tanpa ada rasa ingin membahas drama kemarin malam. Makanan kuambilkan. Tenda juga sudah dipersiapkan lowong untuk istirahat yang lebih nyaman. Sungguh pelayanan yang pantas diberikan kepada mereka yang baru turun dari muncak. Ketika perut sudah kenyang dan kondisi sudah mulai santai, barulah kita membahas drama kemarin malam. Semuanya bisa kita sikapi dengan bijak. Alhasil tidak ada perseteruan. Justru drama itu dijadikan bahan candaan hingga sekarang. Tidak langsung melanjutkan perjalanan, Triasni dan Ayu kami biarkan istirahat terlebih dahulu kurang lebih setengah jam.



Waktu mendekati jam 1 siang. Panas semakin terik. Istirahat Triasni dan Ayu menjadi tidak nyaman. Mereka menyudahinya dan mengajak untuk segera berjalan. Selesai menyiapakan semuanya, doa kami panjatkan dan perjalanan dimulai. Perjalanan baru menuju Pelawangan Senaru. Kami berempat tidak ada yang mengetahui medan dan jalur. Kaki melangkah dengan rasa penasaran dan tertantang. Berjalan kembali ke arah pulang sampai menemukan ada jalan turun ke kiri. Itulah jalur turun ke Segara Anak. Posisi kami di atas. Kami akan turun terlebih dahulu ke Segara Anak. Kemudian naik lagi ke Pelawangan Senaru. Itulah sekilas gambaran perjalanan kali ini. Adi kami minta untuk mengawal perjalanan.


Semangat tinggi kurasakan mengingat jalurnya menurun. Tapi seiring kaki berjalan, tingginya semangat tadi memunculkan rasa pendamping yaitu rasa berhati-hati ekstra. Medan benar-benar diluar dugaan kami yang beranggapan enak dan nyaman seperti menuruni 7 bukit penyiksaan. Anak tangga bentuk medannya dengan jalur zig-zag. Mulai dari atas sampai bawah semuanya anak tangga yang tidak hanya tersusun dari tanah. Terkadang juga ada yang tersusun dari bebatuan yang tidak tertata dengan baik. Akhirnya kita harus mencari tempat untuk kaki menapak terlebih dahulu sebelum melangkah. Medan seperti ini tentunya menjadi ujian bagi lutut. Ditiap langkah turun, lutut menopang beban yang berat. Seringkali aku tanya kepada Triasni dan Ayu apakah butuh istirahat atau tidak mengingat lutut mereka masih lelah dari tekanan turun memuncak. Kala itu pendaki yang turun bersamaan dengan kami cukup banyak. Depan belakang ada pendaki lainnya. Menjadi enak ketika ada pendaki lain didepan karena kita bisa mengikuti jejak langkah kaki mereka. Selain yang turun, kami juga berpapasan dengan pendaki lainnya yang mengarah naik. Dibayanganku aku berimajinasi lelahnya menaiki anak tangga yang panjang ini. Turun aja melelahkan sekali. Apalagi naiknya. Mungkin kalau aku menjadi pendaki yang naik ini, lebih baik berjalan malam. Tidak melihat panjangnya jalur karena tertutup gelapnya malam akan membantu banyak. Mental menjadi lebih kuat.



Turun terus menurun tanpa tahu ujungnya. Akhirnya kami sampai di medan yang landai. Istirahat panjang kami lakukan. Adi mencoba menyemangati dengan mengatakan "sudah tinggal lurus ini jalannya. Tidak ada naiknya lagi." Hati kami berempat jelas bahagia lega. Kiri kanan kami hamparan savana dan susunan pepohonan hijau. Ada kalanya berganti dengan jurang. Asyiknya kalau berjalan di jalur yang kita belum tau sebelumnya seperti ini, rasa penasaran itu terus menerus mengangkat semangat berjalan. Seperti menjadi bahan bakar kaki bergerak. Perjalanan berlanjut. Benar kata Adi, jalannya tinggal lurus. Tapi lurusnya masih sangat panjang untuk sampai ke Segara Anak. Ada 1 medan yang masih kuingat sekali. Medan dimana kita benar-benar harus merayap naik. Tegak 90 derajat. Ada seutas tali yang membantu kita menarik beban badan. Itu satu-satunya medan yang tidak sama dengan gambaran yang diberikan Adi sebelumnya.


Jalan kami tempuh tanpa mengeluh. Ketika ada lapangan luas, kami lihat grup pendakian lain yang berisikan wisatawan asing sedang istirahat dan membuat makanan. Bau harum masakan membuat rasa lapar kami timbul. Kami yang menatap buah-buahan seperti melon, pisang, dan semangka yang selalu ada disetiap grup pendakian wisatawan asing membuat imajinasi lari kesana kemari membayangkan nikmatnya menikmati manis buah itu. Salah satu kelebihan tur di Rinjani menurutku adalah mereka sudah biasa menangani wisatawan asing yang membutuhkan pelayanan lengkap. Selalu ada meja lipat, kursi lipat untuk beristirahat. Selain itu, dalam menu makannya selalu ada makanan penutup berupa buah-buahan. Minumannya juga bervariasi. Tidak hanya teh dan kopi. Minuman bersoda salah satu varian yang bikin kami ngiler. Tentunya ada pelayan bagus, ada harga lebih yang harus dibayar. Kami hanya bisa menatap membayangkan sambil terus berjalan.


Akhirnya dari kejauhan kami lihat danau membentang luas. "Yes, Segara Anak!" teriakku dalam hati. Seperti tinggal lurus maju ke depan sudah sampai. Nyatanya tidak sesederhana itu. Jalan kami rasakan berbelok memutar terlebih dahulu. Jalan yang kami kira pendek malah menjadi panjang. Tapi tak apalah, demi Segara Anak. Sekitar jam 3 sore kami menginjak tanah pinggiran Segara Anak. Banyak tenda yang sudah berdisi di situ. Banyak orang memancing juga. Memancing menjadi aktivitas yang digemari kalau sudah di sini. Kami mencari lahan kosong untuk istirahat. Kami berjalan menjauhi keramaian. Berjalan sedikit ke arah kanan. Lahan kami temukan, lantas beban di punggung langsung kami lepaskan ke tanah dan mengambil istirahat yang lama. Ayu adalah orang yang paling gembira karena bisa sampai di sini. Sudah menjadi keinginannya yang mendalam dari dulu. Mungkin kala itu, keinginannya sudah beranak pinak memenuhi hatinya. Keceriaan hatinya mengalahkan rasa capainya. Kita bertiga sudah terduduk lemas. Sedangkan dia masih bisa berjalan-jalan bahkan meminta segera difoto.


Selesai meregangkan kaki, sambil menunggu Adi memasak nasi, Triasni ingin menikmati keindahan dengan caranya sendiri. Ia duduk diatas batu menghadap ke arah danau sambil memakai earphone mendengarkan lagu yang memang sudah disiapkan untuk situasi semacam ini. Sedangkan kami bertiga berfoto-foto ria. Sayangnya kabut datang menjadi penghalang antara kami dengan Anak Gunung Rinjani. Matahari menjadi tidak maksimal menjalankan perannya sebagai penerang. Kami tidak memasak lauk. Supaya cepat, lauk teri kacang tempe kering saja yang dipanaskan kembali. Satu yang masih membuatku penasaran, yaitu jalur menuju kolam air panas. Seandainya ada kesempatan kembali ke sini, pasti aku akan mengunjungi kolam air panas tersebut. Satu jam kami habiskan untuk makan dan beristirahat. Takut terlalu malam sampai di Pelawangan Senaru, akhirnya kami segera mengakhiri pertemuan dengan Segara Anak. Perjalanan berlanjut dengan menyusuri bibir danau sampai berada disisi yang berbeda. Dihadapan kami adalah jalur naik. Mental dan fisik kami siapkan sebaik-baiknya di titik ini.



Perjalanan kami melewati jalur kecil berbentuk anak tangga dantara rerumputan yang tumbuh tinggi. Sejauh mata memandang vegetasi rapat dengan pohon dan rumput. Jauh berbeda dengan medan di jalur Sembalun yang berupa savana. Seperti biasa, kami mulai terdiam mengatur napas. Kami berempat berjalan tanpa ada pendaki lainnya. Kebanyakan dari mereka berhenti mendirikan tenda di Segara Anak. Seharusnya memang seperti itu. Tetapi karena hari kosong kami terbatas, mau tidak mau harus digenjot ke Pelawangan Senaru. Sampailah kami di medan yang tersusun atas bebatuan yang besar. Perasaan ini langsung tercengang karena dari awal jalur yang tertutup vegetasi, tiba-tiba berubah menjadi tanah luas dengan bebatuan besar yang banyak. Menurutku bebatuan ini indah untuk dipandang karena seperti bisa saling tumpang tindih. Kulihat ada 1 tenda didirikan. "Boleh juga mencoba berkemah di sini lain waktu" pikirku kala itu.


Hari semakin mendekati malam. Langkah kami percepat. Istirahat kami perpendek. Medan yang kami lalui berubah lagi. Sekarang menjadi landai. Bayangan kami kemungkinan ini hanya landai sedikit lalu selanjutnya ini jalur akan mulai zig-zag naik. Tapi ketika kami jalani, kenapa beloknya sedikit? Lama-kelamaan kami tersadar ternyata memang bukan zig-zag naik. Jalan yang kami lalui ini menyusuri tebing berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain. Seperti jalan dari timur ke barat. Ada kalanya juga sedikit zig-zag naik. Berarti kemungkinan jalur naik sebelum ini, kami belum berada di sisi Senaru. Sekarang adalah saatnya kami menyebrang ke sisi Senaru. Lurus bukan berarti tidak ada tantangan. Anak tangga tetap menyambut dengan jarak yang lebar. Kiri jurang. Kanan tebing. Jalan cukup untuk 1 setengah orang, masih cukup untuk berpapasan. Pembatas antara kami dengan jurang terkadang ada terkadang tidak.


Jam 6 sore datang, saatnya kami berhenti sejenak. Headlamp dan jaket kami keluarkan. Langit mulai gelap. Adi dan adiknya kami infokan untuk jalan duluan mencari tempat mendirikan tenda di Pelawangan Senaru. Perjalanan kami lanjutkan kembali. Tidak lama setelah itu hujan turun. Kami buru-buru menurunkan tas lagi untuk mengambil jas hujan. Baterai head lamp Ayu sudah habis. Dia harus mengikuti langkah Ncus yang ada didepannya dan penerangan dari Triasni yang berada belakangnya. Seringkali dia berteriak "Ncus, jangan maju-maju!" "Tri, buruan jalannya! Gelap ini." Merepotkan kala itu. Tapi kalau sekarang diingat kembali justru menjadi kejadian yang lucu. Perjalanan menjadi lebih berat. Beban bertambah dengan beban air. Dingin semakin menjadi-jadi. Langkah kaki semakin harus hati-hati karena jalan menjadi licin. Kami berjalan sangat lama hingga jam 7 malam. Tiba-tiba kami kaget karena bertemu Adi di jalan. Dia datang menjemput kami karena khawatir kami kecapaian. Adiknya menunggu di tenda. Adi sigap membantu membawakan tas Triasni dan Ayu. Sampailah kami di medan terakhir sebelum sampai. Pelawangan Senaru sudah diatas. sedikit lagi benar-benar sampai. Namun, bagaimana cara ke atas? kami harus merayap lagi. Jalan tersusun dari bebatuan yang memaksa kami harus bertumpu dengan tangan yang mencengkram batu juga. Belum lagi kalau ada pendaki lain yang turun dari atas. Sangat repot menurutku kalau berpapasan. Satu-persatu kami merayap dimulai dari Ayu dan diakhiri dengan aku. Sungguh pengalaman yang "wow" karena merayap dengan tas carrier masih ada di punggung. Yang kubingung hingga sekarang, bagaimana cara Adi naik dengan membawa bebannya?



Akhirnya sampai juga di tenda. Hujan mulai mereda. Basah air hujan membuat proses bersih-bersih sebelum masuk tenda menjadi lebih lama. Tidak bisa barang kami taruh ditanah. Nantinya malah berlumpur dan mengotori dalam tenda tempat kami istirahat. Jadi, kami harus bergantian satu-persatu langsung menaruh barang ke dalam tenda. Selama masih ada yang dalam, yang lain harus sabar menunggu terdiam di luar menggigil kedinginan dengan tas masih dipunggung. Tapi itulah namanya saling menghargai. Siapa yang tidak mau segera menghangatkan badan. Ego harus dikontrol. Tidak lama setelah kami semua sudah selesai membersihkan diri dan masuk ke dalam tenda, hujan selesai membasahi bumi. Saatnya memasak makan malam. Tenaga kami benar-benar terkuras habis. Makanan kaleng terakhir kami buka. Lauk rawon dengan telur asin, menu penutup hari yang sangat lezat. Lezat bagi kami bertiga. Tidak bagi Triasni. Dia tidak suka dengan rawon. Solusinya adalah dia menghabiskan lauk teri kacang tempe kering hingga tidak tersisa lagi. Selesai makan kami langsung beristirahat.


Berlanjut ke bagian 4


15 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page